Dimana Letak Kelemahan Umat Islam?

“Keadaan meminta, supaya “the right man”
ditempatkan “in the right place”

Menyangka diri kita kuat, padahal lemah adalah suatu kekurangan.
Dalam keadaan seperti itu, mesti ada yang berani menunjukkan cacat kita, supaya kita menjadi insyaf. Dengan keinsyafan itu kita merubah sifat-sifat yang buruk dengan sifat-sifat yang baik.

Yang menyebabkan kuatnya ummat Islam di jaman Rasul ada dua faktor;
1. Ilmu; 2. Aqidah. Dan lemahnya ummat Islam dijaman kini, ialah karena kekurangan ilmu dan kelemahan aqidah.

Tiada ada jalan lain untuk menguatkan ummat Islam, selain dari pada memiliki kembali kedua syarat itu.
Menunjukkan atau mengemukakan kelemahan, kekurangan, ketidakcakapan kita, mungkin menimbulkan perasaan “inferioriteit” dalam diri kita, merasa diri hina, rendah tidak layak memegang jabatan-jabatan yang tinggi dan sebagainya, sebagaimana politik yang dijalankan Belanda bermasa abad terhadap bangsa Indonesia.

Dan mungkin pula akan menyebabkan rasa benci atau menimbulkan nafsu marah terhadap orang yang berani mengemukakan kekurangan-kekurangan kita itu, karena kita menganggap diri kita kuat, cukup dan cakap, walaupun pada hakekatnya tidak begitu.

Tetapi ada masanya kekurangan-kekurangan itu perlu diterangkan, perlu ditunjukkan, supaya kita mengetahui cacat-cacat yang ada dalam diri kita dan dengan jalan demikian kita berusaha menghilangkan semua sifat-sifat buruk. Sudah semestinya keritikan yang semacam itu, kita terima dengan tenang, kita pikirkan dalam-dalam, kita tujukan kepada diri kita sendiri untuk menguji benar tidak-nya. Jika ternyata benar, disini perlu kita mempunyai suatu sifat yang luhur, berani mengakui kesalahan-kesalahan, dan seharus-nya dengan keikhlasan hati, sifat-sifat buruk diganti dengan sifat-sifat mulia, supaya kita dapat menempatkan diri kita pada tempat-nya. Hal ini jangan ditangguhkan lagi, keadaan kini sudah meminta supaya kita kuat !

Dimana letak kelemahan kita, ummat Islam Indonesia ?

Kalau kita hendak mengetahui pokok-pokok kelemahan kita, maka perlu kita ketahui lebih dahulu “apa yang menyebabkan kuatnya ummat Islam di jaman Rasulullah s.a.w.”. Dari sejarah kita ketahui, bahwa faktor-faktor terpenting yang menimbulkan kekuatan yang maha hebat dalam kalangan ummat Islam di masa lampau ialah dua perkara :

A. Ilmu
Di jaman Rasul belum kita dapati ilmu teknik, ilmu ekonomi, ilmu ini, ilmu itu, sebagaimana yang kita dapati di jaman kita sekarang ini. Semuanya masih primitif, masih bersahaja, tetapi ilmu yang ada pada mereka, sudah cukup dan memadai untuk mengatur masyarakat dijaman itu. Jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang semasa dengan mereka, ummat Islam lebih pintar dan efisien dalam melakukan tiap-tiap sesuatu. Betul di jaman Rasul ummat Islam “masih bodoh”, tetapi dasar-dasar untuk mencapai ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dalam segala lapangan telah diberikan oleh Rasulullah kepada ummat Islam, yang ter-bukti di jaman, yang dinamakan oleh ahli sejarah "zaman ke-emasan Islam”, ulama-ulama Muslimin telah berhasil membangun suatu kebudayaan yang tinggi, mereka sudah sampai ketingkat pengetahuan yang belum pernah dicapai oleh bangsa-bangsa lain sebelum mereka. Hasil-hasil yang mereka dapat menjadi dasar dan pokok pula bagi ke-lanjutan ilmu pengetahuan dijaman kini, yang diwarisi bukan oleh ummat Islam, tetapi oleh bangsa-bangsa yang beragama lain. Dengan ilmu ummat Islam mengatur negara keluar dan kedalam, dengan ilmu mereka menyusun rencana memakmurkan rakyat; dengan ilmu mereka memudahkan per-hubungan; dengan ilmu mereka mem-per-tahankan dan memaju-kan negara. Pendek kata, tiap-tiap sesuatu yang mereka lakukan untuk kemajuan dan kemaslahatan ummat, mereka dasarkan atas ilmu pengetahuan, sehingga mereka sebagai suatu bangsa yang kuat dikagumi dan disegani oleh bangsa-bangsa tetangganya.

B. Aqidah
Yaitu kepercayaan akan adanya, wujudnya Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang tiada ada sekutu bagi-Nya. Kaum Muslimin yakin dengan seyakin-yakinnya akan wujudnya Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menjadi sumbernya tiap-tiap sesuatu, Yang Pemurah, Penyayang, Adil, Tuhan yang merajai sekalian alam, Tuhan yang mempunyai hari pem-balasan, yang menjadikannya kebaikan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh dan men-jadikan adzab bagi mereka yang tidak me-nurut perintah dan larangan-larangan-Nya.

Karena didikan dan contoh yang diberikan Rasulullah s.a.w. kepada pengikut-pengikut-nya, maka kepercayaan, keyakinan, aqidah itu terhujam dengan sangat hebatnya dalam dada ummat Islam. Kalau orang menjumpai dalam tarikh, amal perbuatan atau tindakan-tindak-an kaum Muslimin yang adil, berani, jujur dan sifat-sifat mulia yang lainnya yang meng-hiasi tiap-tiap amal mereka, maka hendaklah kita yakini, bahwa sesungguhnya aqidah ini-lah yang menjadi sumber dari semuanya itu. Marilah kita kutip beberapa kejadian dijaman Rasul dan para sahabat, gambaran ketinggian akhlaq, budi pekerti ummat Islam, hasil dari aqidah yang menghiasi dada tiap-tiap mereka.

1. Setelah Abu Bakar diangkat menjadi Presiden (Khalifah) ummat Islam, dia tetap pergi ke pasar berniaga, untuk men-cari nafkah anak isterinya. Setelah pulang dari pasar barulah ia mengerjakan pe-kerjaan negara. Atas permintaan orang banyaklah, maka ia tidak perlu ke pasar lagi, sebab urusan negara yang dihadapi-nya sangat berat. Maka Abu Bakar me-nerima sumbangan dari negara sekedar cukup untuk rumah tangganya. Di jaman Rasul, Abu Bakar pernah mengorbankan semua hartanya untuk kepentingan Islam. Waktu ditanya apa lagi yang tinggal bagi-nya, dia menjawab : “Cukuplah bagiku Allah dan Rasul-Nya”.

2. Isteri ‘Umar Ibnul Khattab pernah me-nerima hadiah dari permaisuri Persi. Berkata ‘Umar : “Sesungguhnya engkau dapat hadiah itu karena kebesaran ‘umar, dan ‘Umar tidak akan dipandang besar kalau tidak karena keberanian dan ke-gagahan ummat Islam seluruhnya. Oleh karena itu serahkanlah hadiah itu kepada mereka, merekalah yang lebih berhak atasnya”.

3. Setelah ‘Umar selesai membagikan makanan kepada fakir miskin, dia pergi pulang. Waktu itu dia sedang makan (roti kering dengan garam yang sudah bubuk), dilihatnya ada seorang di muka pintu. Orang itu ditemuinya seraya berkata : “Belum cukupkah makanan yang saya berikan tadi kepadamu, sampai kamu me-nuruti aku ke rumah ? Wallah, makan-an yang aku berikan kepadamu itu lebih baik dari yang saya makan sekarang ini”.

4. Dengan disaksikan oleh ‘Ali, ‘Umar pernah membuat suatu surat perjanjian, dimana disebutkan bahwa ‘Umar me-nebus kezalimannya terhadap seorang perempuan tua, yang tidak mendapat sumbangan dari Baitul-Mal selama ke-pemimpinannya, sebanyak 25 dinar, jumlah yang ditentukan oleh perempuan itu sendiri. Kesalahan itu bukanlah di-sengaja, tetapi ‘Umar tetap tenang dan berterima kasih kepada orang tua yang memarahinya dengan kata-kata yang pedih. Dia menangis, karena ingat akan siksaan Tuhan terhadap hamba-hamba-Nya yang zalim.

5. Dalam suatu peperangan ada yang bertanya kepada Khalid bin Walid : “Mengapa engkau tetap saja berperang se-bagaimana biasa, sedangkan ‘Umar telah menurunkan pangkatmu dari Jenderal Perang ?”. Khalid menjawab : “Aku tidak berperang karena ‘Umar, tetapi karena Allah !”

6. Sewaktu Yunus Ubai sembahyang di mesjid, saudaranya menjualkan kainnya kepada seorang badui (mungkin karena keliru) seharga 400 dinar, sedangkan harganya hanya 200 dinar. Yunus Ubai mengetahui hal itu, orang badui itu di-bawanya kembali ke tokonya, lalu di-kembalikannya uang kelebihannya, sambil berkata kepada saudaranya : "Kita mesti memperlakukan saudara kita sebagai-mana kita memperlakukan diri sendiri”.


7. Kalau pecah peperangan antara kaum kafir dan kaum Muslimin, maka orang-orang yang belum atau tidak diizinkan oleh Rasul ikut berperang, merasa sedih dan menangis, karena tidak pergi ke medan perang membela agama Allah.

Ini adalah sebagian kecil dari kejadian-kejadian yang menghiasi lembaran sejarah ummat Islam, yang menunjukkan ketinggian akhlaq, budi pekerti mereka di jaman Rasul. Dan bagi saya, inilah “ZAMAN KE-EMASAN UMMAT ISLAM”, jaman yang walaupun ilmu pengetahuan belum lagi sampai ke-tingkat yang tinggi sebagaimana di jaman ‘Abbassiah, tetapi akhlaq budi pekerti yang tinggi dan mulia menghiasi masyarakat Islam di waktu itu dengan indahnya.

Dan bukankah Muhammad s.a.w. diutus “untuk menyempurna-kan akhlaq manusia ?”

Oleh karena aqidah inilah, keyakinan yang ditanamkan Rasul dalam dada tiap-tiap Muslim, yang menjadi sumber dari semua akhlaq yang mulia, menyebabkan kuatnya ummat Islam di masa lampau.

Ilmu, aqidah; dunia, akhirat; sumber kekuatan ummat Islam. Disinilah rupanya letaknya rahasia dari ajaran Junjungan kita Muhammad s.a.w. : “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok”.

Berlomba-lomba mengejar dan menentukan nasib di dunia dengan didasarkan atas aqidah, kepercayaan, cinta dan takut kepada Allah Yang Maha Adil.

Adakah kedua syarat itu pada kita sekarang ini ? Tidak ada !

Dalam ilmu pengetahuan kita sangat ketinggalan. Sebab-sebabnya boleh kita cari, dan pada lahirnya ialah karena penjajahan bangsa asing, tetapi pada hakekatnya ialah karena kesalahan kita sendiri. Oleh karena kekurangan ilmu itulah kita selalu, baik dalam lapangan apapun juga, ketinggalan kereta : “We always miss the bus !”. Sering kita mengeluarkan tenaga yang besar dan pe-ngorbanan yang banyak, tetapi hasilnya kecil sekali, tidak seimbang dengan pengorbanan yang diberikan. Kita tidak efisien dalam melakukan tiap-tiap sesuatu. Banyak pengorbanan yang hilang terbuang. Hanya kita boleh bersyukur kepada Allah, karena jumlah orang-orang yang memeluk agama Islam berpuluh-puluh kali lebih banyak dari yang lain. Kalau tidak begitu, nama Islam sudah lama hilang dari muka bumi Indonesia.

Di masa beberapa puluh tahun yang akhir ini, ummat Islam telah mulai insyaf akan kepentingan ilmu pengetahuan. Maka perkumpulan-perkumpulan Islam “Fastabiqul Khairaat” (berlomba-lomba dalam kebaikan) dalam mendirikan sekolah-sekolah menurut sistim modern. Hasilnya walaupun belum sampai kepada tingkat yang memuaskan, tetapi sudah mempunyai arti, walaupun hanya baru kecil sekali. Tetapi sejak hadirnya Republik, sejak api revolusi menyala di Indonesia, maka perkataan “politik” sangat merdu bunyinya di telinga tiap-tiap bangsa Indonesia.

Sejak dari pemimpin sampai ke rakyat di desa-desa dan di kampung-kampung, pendek kata semua lapisan masyarakat ikut “berpolitik”. Achterlijk, ketinggalan, tidak hebat orang tidak berpolitik. Ini salah satu dari sebab-sebab yang menyebabkan kurangnya sekolah-sekolah ummat Islam. Menjadi “politiek man” itu lebih hebat daripada jadi “guru”. Dengan berpolitik kita bisa terbang kemana-mana, berbicara di muka umum, diinterview, dimasukkan dalam surat kabar, orang banyak tahu, terasa perjuangan kita hebat, kita dianggap pendekar bangsa. Dengan ini kita kecualikan orang-orang yang merupakan “the right man in the right place” Kalau jadi guru paling tinggi kita bisa jadi “pahlawan” di depan murid-murid yang masih hijau. Walaupun ummat Islam ter-utama pemimpin-pemimpin kita insyaf akan kekurangan kader, yang akan meneruskan memperjuangkan ideologi Islam nanti, tetapi inisiatif ke arah itu hingga kini belum tampak. Kita sayangkan! Oleh karena itu marilah kita bergiat kembali membangunkan sekolah-sekolah modern yang berdasarkan Islam untuk memperkuat barisan kita.

Bagaimana tentang aqidah ?

Tentang ini jika dibandingkan dengan ummat Islam di masa lampau, maka mereka itu bukan bandingan kita. Aqidah dalam kalang-an kita ummat Islam dewasa ini sangat lemah-nya. Apa sebabnya ?

Diantaranya ialah karena ajaran-ajaran agama yang diberikan atau yang kita dapat, bukan dari sumber yang sesungguhnya. Setelah agama Islam diliputi oleh ajaran-ajaran yang berasal bukan dari Islam, diliputi bid’ah dan khurafat, dibawa ke negeri Persi yang penduduknya pada waktu menyembah api, dari Persi ke India yang beragama Hindu dan Budha, dari sini baru sampai ke tanah kita yang pada waktu beragama Budha pula. Tidak heran, agama Islam itu dalam per-jalanannya ke negeri kita ini sudah ber-campur aduk dengan faham-faham lain. Dan tidak heran pula, agama yang seperti itu tidak akan dapat menimbulkan suatu aqidah sebagaimana yang dimiliki oleh ummat Islam lampau. Oleh karena itu kepercayaan, keyakinan agama, yang ada pada kita sekarang ini bukanlah aqidah yang kita maksudkan diatas, tetapi sudah berubah menjadi suatu “fanatisme”, suatu kepercayaan membuta tuli yang tidak didasarkan atas ilmu dan per-hitungan. Orang-orang yang semacam ini mudah sekali menjadi alat orang-orang yang berniat busuk. Dalam pertempuran-pertempuran selama revolusi, kaum Muslimin yang berikatkan kain putih di kepala dengan lafadz “Laa-ilaaha-illal-Laah” dan yang sudah “dimandikan” merekalah yang terbanyak menjadi korban, karena mereka mempunyai keyakinan akan “kekebalan” mereka dan dengan tidak gentar sedikit juga maju ke depan walaupun hanya dengan golok dan bambu saja. Jangankan dikalangan penduduk yang masih bodoh, dalam kalangan pemuka-pemuka Islam yang terpelajarpun, kepercayaan kepada kesaktian kekebalan, kekeramatan dll. masih kuat. (Kata “Merdeka” : “Panglima Besar lepas dari kepungan Belanda karena saudara Harsono mencabut keris keramat dari Kiyai Mahfudz ?”. ~ Red.).

Di waktu sebagian ummat Islam ingin meneruskan menuntut ilmu, dan oleh karena Muslimin sendiri belum mempunyai sekolah-sekolah yang berarti, maka mereka menuntut pelajarannya di sekolah-sekolah yang ber-pendidikan barat. Dengan jalan demikian, mereka makin lama makin jauh dari agama-nya, malahan ada yang sampai mencaci dan karena melihat keadaan ummat Islam sendiri mereka mempunyai anggapan bahwa agama Islam itu tidak dapat menjadi suatu pegangan untuk orang-orang terpelajar. Ada sebagian kecil yang tetap memegang agamanya, tetapi mereka mendekati Islam hanya dari sudut ilmu semata, tidak disertai dengan didikan keimanan. Oleh karena itu aqidah mereka sangat lemah, tiap detik turun naik nafasnya tidak merupakan suatu keyakinan, kepercayaan, cinta dan takut kepada Allah. Oleh karena ummat Islam sekarang sudah insyaf, bahwa hendak mengatur negara secara Islam, perlu kepada orang-orang yang berilmu, maka “orang-orang intelek Islam” inilah sekarang yang memegang pimpinan perjuangan ummat Islam.

Ummat Islam yang bodoh dan fanatik, pemimpin intelek yang lemah aqidah, alangkah baiknya pertemuan ini, untuk menimbulkan “politikus-politikus opportunis”, “politkus-politikus avonturir”, pertemuan tikus dengan kucing.

Suatu kesempatan baik untuk “calon politikus” untuk memacu kudanya se-kencang-kencangnya guna mencari pengaruh, pangkat dan kedudukan.

Apakah symptomen (tanda-tanda) yang dapat kita lihat disebabkan oleh ketipisan aqidah ini, yang menyebabkan lemahnya ummat Islam ?

1. Semangat berkorban dengan harta dalam kalangan kita sudah sangat tipis. Malahan sebaliknya. Kita yang selalu menganjurkan “wayu’tsiruuna ‘ala anfusihim walau kaana bihim khashaashah” (QS. Al-Hasyr, 59 : 9) (kaum Muslimin itu, ialah mereka yang menekankan kepentingan umum, walau-pun mereka sangat membutuhkan-nya), kita pula yang menjadi pemuka-pemuka kapitalis, walaupun dengan jalan yang tidak halal kita menumpuk-numpukan harta. Orang lain menyabung nyawa, kita dengan tidak malu-malu me-nyumbat perut dan nafsu kita sepenuh-penuhnya. Kita mengejar pangkat dan kedudukan, bukan untuk bekerja, tetapi karena gila hormat dan doyan duit. Coba kita pikirkan, bagaimana kalau kita sebagai “pemimpin ummat”, atas nama ummat, mengadakan oposisi terhadap pemerintah, tetapi setelah diserahi pangkat walaupun kita tidak cakap untuk melakukannya, kita lalu menjadi “lunak”. Kerja tidak ada, ngobrol sini, ngobrol sana, naik mobil dll. Maksud sudah hasil ! Waktu ditanyakan kepada pemerintah, apakah kita tidak merugikan negara, karena kerja tak ada, gaji diberi terus ? Di-jawab, bahwa tetap menjadi keuntungan negara, sebab kita (pemimpin-pemimpin tengkulak ? ~ Red.) tidak “mengacau lagi. Masya Allah ! O, mores!.

2. Perpecahan dalam kalangan ummat Islam. Adanya banyak perkumpulan dan partai dalam Islam, sudah menunjukkan, bahwa tidak ada kesatuan dalam kalangan kita. Kita boleh berkata : “Itu toh tidak apa- apa ! Banyaknya perkumpulan dan partai tidak perlu menyebabkan kita berpecah. Gescheiden samengaan. Tiap-tiap perkumpulan mengerjakan pekerjaannya masing-masing, untuk tujuan yang sama”. Memang ! Tetapi kalau betul untuk tujuan yang sama apakah salahnya kita “bersatu”, tidak ada perkumpulan ini, partai itu, kecuali satu partai saja. Dengan banyaknya perkumpulan dan partai tenaga kita berpencar, tidak dapat dipakai secara efisien. Dengan “bersatu” semua pokok dan cabang-cabangnya, dapat di-atur dengan sebaik-baiknya dengan menempatkan orang-orang yang cakap pada tempatnya yang tepat.

Bisakah semua perkumpulan itu dipersatukan? Tidak ! Ummat Islam belum sampai ke-tingkat “pengorbanan” yang semacam itu. Bukankah kita sekarang “pertama menjadi partai-man, kedua menjadi partai-man, dan akhirnya baru menjadi seorang Muslim ?”.

Bagi segolongan dari kita, masih belum masuk akal, jika pimpinan ummat jatuh ketangan golongan lain, apalagi dipindahkan dari Pusat yang mempunyai “historisch recht” ketempat lain, yang mengingatkan kita kepada pemerintahan dinasti ummat Islam di masa lampau.

Bukankah pernah dulu kejadian suatu hal yang memalukan, ketika satu perkumpulan dengan diam-diam mengeluarkan franco-amal, padahal sudah lebih dahulu dimajukan oleh seorang pemimpin Islam supaya hal itu diurus dan keuntungannya untuk kaum Muslimin bersama ?

Dan bukankah pula ada segolongan ummat Islam mengejek dan menyamakan dengan anak-anak, waktu saudara-saudara kita mem-bela kesucian Islam sehingga mereka dipanggil ke Parket Jakarta ? Sebenarnya hal ini sudah baik dikubur saja. Tetapi ada juga perlunya dibongkar untuk menjadi cermin dan pelajaran !

Belum lagi pertentangan (perpecahan) orang seorang dengan kawan-kawan yang separtai. Karena takut akan kehilangan pengaruh, dengan tidak malu-malu kita mengambil pekerjaan kawan, kita busukkan dia, dengan tidak takut-takut kepada Tuhan kita selalu mengadakan pertentangan (oposisi) dengan mereka dan seterusnya.

Teman yang nyata Islamnya kita singkirkan, orang-orang yang baru kemarin dapat me-nyebut “assalamu’alaikum” dan tidak beres pula, dengan “tidak ragu-ragu” kita tarik ke-dalam partai kita. Dengan herannya, kita-kita yang busuk ini selalu mendapat pengaruh dan orang-orang yang betul-betul mau ber-juang terlempar kepinggir. Apakah karena kita pandai mempermainkan ayat-ayat Tuhan, ataukah ummat Islam yang mau dipebudak saja ?

Pada permulaan revolusi, kita mengakui hanya satu partai politik Islam. Tetapi dalam “perjalanan”, GPII mencari jalan sendiri, tidak mau didikte saja oleh kaum tua. Dalam pada itu PSII dengan secara ilegal dalam MASYUMI “pemimpinnya” berusaha men-dirikan PSII. Akhirnya PSII bangun kembali, karena mempunyai “historisch recht” dalam gelanggang politik. Dan waktu Amir me-megang tampuk kekuasaan, mereka menjadi “pelana” kudanya. Di Jawa Barat sesudah Renville, “Darul Islam” dibangunkan oleh Kartosuwirjo dengan kawan-kawannya, yang mempunyai haluan dan corak politik sendiri, dan belum lama ini berdiri pula “Gerakan Muslimin Indonesia”, yang berpusat di Bandung. Berapa lagi yang akan menyusul ?

Katakanlah, bahwa kita mempunyai tujuan yang sama !

“Kamu sangka mereka bersatu, pada hakekatnya hati-hati mereka itu bercerai berai”.
(QS. Al Hasyr, 59 : 14)

Masih banyak lagi contoh-contoh yang dapat kita bongkar, yang memberikan gambaran, tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ummat Islam itu sesungguhnya lemah, “the sick man of …….”.

Mungkinkah ada yang menyalahkan tulisan kita ini ! “Betul apa yang saudara katakan itu, tetapi alangkah baiknya, jika hal-hal itu tidak diobral di depan umum dengan demikian macam, sehingga orang luar, yang tidak perlu mengetahui aib kita, sampai mengetahui !”

Memang ! Itu betul juga !

Tetapi kalau akhlaq kita sudah sedemikian rupa jeleknya, karakterloos, mannequins in optima forma, sehingga kita, bukan tidak mengetahui, tetapi tidak mau ambil peduli akan cacat-cacat kita, kita mau bikin apa ? Bukankah sekarang orang luar lebih mengetahui tentang aib-aib kita sendiri ? Kalau orang luar sudah mengatakan kita “the sick man” (orang sakit), tetapi kita masih menganggap diri kita kuat, cakap, pintar dan sebagainya, habis kita mau bikin apa! Tidakkah lebih baik cacat-cacat kita itu kita lemparkan kemuka kita sendiri di depan orang banyak. Mudah-mudahan cara ini lebih mujarab dari yang lain.

Teruslah berjuang, berjuanglah wahai ummat Islam, dengan cara dan kehendakmu masing-masing, tetapi ingatlah bahwa Tuhan tidak buta terhadap sesuatu yang dikerjakan tidak dengan keikhlasan kepada-Nya.

Islam tetap terjaga! Allah menjaminnya! Tetapi Islam hanya bisa menyelamatkan dunia jika ia dipegang oleh “tangan-tangan yang suci”.

“I’mal lidunyaaka, ka-annaka ta’isyu abadaa, Wa’mal li-aakhiratika, ka-annaka tamuutu ghadan !”

Majalah Aliran Islam, No. 11, Tahun ke II, September 1949

No comments