Silaturrahim adalah menyambungkan ikatan kekeluargaan dan ikatan kasih sayang diantara sesama manusia. Ikatan kasih sayang ini bukan persoalan otak tapi persoalan hati nurani. Musuh manusia senantiasa berusaha untuk mematahkan dan menumpulkan hati nurani setiap manusia.
Ada sebuah buku karya seorang Amerika, Adam Smith yang berjudul "Kekayaan Bangsa-bangsa". Di buku tersebut dijelaskan tentang sifat kita, yaitu sifat manusia. Untuk menjelaskan itu Adam memberika sebuah ilustrasi, yaitu ketika seorang tukang daging atau tukang roti datang ke rumah anda. Maka kedatangan mereka ke rumah anda dapat memudahkan anda untuk menyiapkan santap malam. Kata Smith, kedatangan mereka ke rumah anda itu bukan karena mereka ingin berbuat baik kepada anda atau mereka memperhatikan keperluan anda, tetapi mereka berbuat seperti itu lebih karena mereka terlalu mementingkan kepentingan mereka sendiri. Yaitu mereka hendak mencari keuntungan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang egois dan senantiasa mementingkan dirinya sendiri. Coba tafakurilah, apakah betul kita selalu mementingkan diri sendiri? Seringkali kita berfikiran biarlah orang lain mampus yang penting diri kita puas.
Selain itu, sifat negatif kita yang lain adalah tidak suka berterima kasih. Jika kita renungkan, berapa banyak nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita. Saking banyaknya, sampai-sampai kita tidak mampu menghitungnya. Allah berfirman : "Dan jika kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, kalian tidak akan mampu menghitungnya". Namun sayangnya kita tidak mengenal diri kita sendiri. Karena lupa kepada diri akhirnya lupa pula kepada Allah. Firman Allah : "Janganlah kamu menjadi orang yang melupakan Allah, maka Allah pun akan melupakanmu".
Orang-orang yang mengenal kepada dirinya, akan mempu menentang segala kehendak iblis dan syetan yang senantiasa mengajak kita kepada jalan yang salah. Kita tidak akan bisa melepaskan diri dari jeratan dan jebakan iblis, kecuali dengan bantuan Allah dan pendekatan diri kita kepada-Nya serta memahami ajaran-ajaran Islam dengan baik.
Orang yang tidak mengenal diri sendiri, akan terjerumus ke dalam tindakan-tindakan atau akhlaq yang tercela (al-akhlak al-madzmumah) sehingga penganut agama lain pun menjadi tidak simpati. Seandainya kita berakhlaq dengan akhlaqul karimah, maka orang lain pun akan respek dan menghargai agama kita.
Hal ini pernah diungkapkan oleh sarang seorang tokoh nasrani kepada Mohamad Natsir, bahwa beliau setuju 200% jika Islam dijadikan dasar negara, karena dia sangat tertarik oleh perilaku tokoh Islam yang sangat mengedepankan al-akhlaqul karimah. Tidak sedikit orang-orang non muslim yang tidak simpatik kepada Islam karena ulah para penganutnya.
Salah satu akhlaqul karimah yang dipraktekan oleh Abdurrahman bin Auf, barangkali bisa memberika satu gambaran bagaimana indahnya hidup dibawah naungan Islam.
Abdurrahman bin Auf dikenal dalam sejarah sebagai seorang konglomerat yang dermawan. Sebelum berangkat ke pasar, ia pernah diingatkan oleh Rasulullah saw, bahwa pasar itu merupakan tempat yang jelek, karena disana seringkali terjadi praktek penipuan. Dengan nasihat itulah ia berangkat ke pasar untuk membeli sesuatu. Sesampai di rumah ia merenung tentang barang yang dibelinya. Dalam perenungan itu dia berfikir jika tidak ada pedagang itu maka ia tidak akan mendapatkan barang yang dibutuhkannya. Akhirnya ia sampai kepada satu kesimpulan bahwa manusia itu adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, tetapi memerlukan interaksi dengan manusia lainnya. Meskipun istilah makhluk sosial belum diketahui namun sudah dipraktekan oleh Abdurrahman bin Auf.
Setelah melalui proses kontemplasi yang panjang, lalu timbulah keinginan untuk berjualan, tapi niatnya bukan hanya semata untuk mencari keuntungan tetapi betul-betul ingin berbuat baik kepada sesama manusia dan ingin memudahkan kebutuhan mereka. Kondisinya sangat berbeda dengan orang sekarang, tidak sedikit orang yang berjualan hanya untuk kepuasan dirinya dan tidak memperdulikan kesulitan orang lain. Perhatikan saja bagaimana harga minyak tanah melambung karena ada pihak-pihak yang bermain curang sehingga rakyat menjadi kelabakan.
Dengan niat mulya seperti itu, akhirnya dia berangkat ke pasar untuk berjualan. Berbeda sekali dengan budaya dan keumuman para pedagang saat itu, Abdurrahman bin Auf berdagang dengan jujur, tidak menipu pembeli, janjinya ditepati, hutangnya selalu dibayar dan tidak mengambil laba terlalu besar. Dengan sifat dan karakter seperti itu, akhirnya dagangannya laris karena banyak pembeli yang merasa puas. Semakin hari usahanya bertambah besar dan omzetnya semakin meningkat. Maka dalam waktu relatif singkat, Abdurrahman bin Auf menjadi kaya dan menjadi pengusaha sukses.
Ketika ditanya orang milik siapa harta ini? Dengan yakin dia menjawab bahwa harta ini milik Allah yang dititipkan kepadanya sebagai barang amanah.
Sebagai bukti komitmennya kepada perjuangan Islam, ketika Rasul meminta sumbangan untuk keperluan Jihad fi Sabilillah, Abdurrahman bin Auf menyumbangkan 500 ekor unta, 500 ekor kuda, 60 ribu dinar emas kepada Rasulullah saw, untuk digunakan Jihad.
Inilah tipe orang yang memahami agama dan berfikir dengan hati nurani bukan berfikir dengan otak. Abdurrahman bin Auf bukan hanya berdagang tapi ia juga pergi ke medan perang memenuhi seruan Rasulullah saw. Namun karena belum ditakdirkan syahid, maka beliau kembali berdagang untuk membantu orang yang tidak mampu dan sangat memerlukan. Alangkah indahnya hidup ini jika dapat berperilaku seperti Abdurrahman bin Auf. Saya yakin, kehidupan ini akan lebih tenang dan tentram serta terhindar dari kesempitan. Hidup bukan hanya untuk mementingkan diri sendiri tapi betul-betul untuk kebaikan orang lain.
(Buletin An-Najm, 25 Dzulqa'dah 1422 H/8 Februari 2002 M)

No comments